Langsung ke konten utama

Unggulan

Belajar Diam

Selasa pagi di sudut kamar, sebuah laptop acer jadul sudah menunggu untuk menemani work from home hari ini. Selain menyiapkan amunisi untuk teman kerja berupa kopi hitam dan donat homemade yang alhamdulillah kali ini tidak bantet, saya juga mulai mengutak-atik hp untuk mencari musik sebagai backsound yang niatnya buat bikin tambah semangat kerja. Berhubung saya sudah lama tidak menyimpan musik di HP, jadilah saya buka youtube buat cari musiknya. Eh, dilalah malah lihat kajian ustadz favorit yang kalo ngasih tausiyah tuh ngademin banget. Yup, beliau adalah ustadz Oemar Mita. teman-teman yang suka dengar kajian beliau pasti setuju. Kali ini beliau membahas 'diam'. Judulnya simpel tapi setelah didengar ternyata ngena banget dan bikin ngangguk-ngangguk sendiri. Ya Allah, ini tuh kayak teguran buat saya.  Saya tuh orangnya pendiam. Saya juga sulit menemukan teman yang sreg. Tapi kan, saya pernah mikir harus berubah. Mungkin saya harus ngomong, ngomong apa aja deh, biar saya jadi mud

Anakku, Jangan Marah

Perlahan pandemi COVID-19 yang terjadi di dunia dan Indonesia khususnya mulai mereda. Kehidupan mulai kembali normal. Ini hal yang sudah ditunggu-tunggu masyarakat pada umumnya. Kenormalan ini membahagiakan bagi banyak orang. Namun, sepertinya tidak berlaku untuk anak sulungku. Baginya, ini adalah momen kehilangan. Bundanya yang selama dua tahun terakhir lebih sering berada di rumah karena aturan work from home (WFH), sekarang harus berangkat subuh pulang magrib setiap hari. Waktu kebersamaan kami mulai berkurang drastis. 

Ada rasa kehilangan dari air mukanya. Tampak jelas kesedihan dari raut wajahnya yang tampan. Masa-masa bermanja, bercanda, belajar, dan motoran ke warung dengan bundanya hilang. Meski kami jarang bepergian, tetapi terkadang kami sempatkan untuk berjalan-jalan sebentar ke warung dekat rumah sekedar untuk membeli sarapan pagi. Di saat matahari tidak begitu terik, beberapa kali, kami juga bermain di dalam komplek. Biasanya itu menjadi momen anak-anakku bersosialisasi dengan anak-anak tetangga seusianya. Anak sulungku yang akrab disapa abang itu akan senang sekali melaju sepeda bebeknya dan berpacu dengan teman-temannya. Sekarang, masa-masa itu tidak ada lagi. Meskipun ada orang yang kutitipi untuk mengasuh anak-anakku, tetapi ibu, begitu kami memanggilnya, lebih nyaman mengizinkan mereka bermain di teras rumah saja. 

Kesedihan abang biasanya akan memuncak di pagi hari. Momen berangkat kerja di pagi hari seringkali dihiasi air matanya yang tak rela ditinggal. Abang hampir selalu terbangun saat aku bersiap-siap. Seolah gerakanku adalah alarm baginya. Meskipun tidurnya lelap, abang akan otomatis terbangun saat aku bangkit dari tempat tidur. Abang akan mengikutiku kemanapun aku pergi, saat aku ke kamar mandi, sholat subuh, maupun berganti pakaian. Tidak jarang abang melakukannya sambil merengek, memohon untuk ikut ke kantor, mau sama bunda katanya. Sedih mendengarnya. Sebagai penyemangat, kutawarkan untuk membelikan makanan kesukaannya. Meski tidak bersemangat mengiyakan di pagi hari, abang selalu menagihnya ketika motor bundanya mendarat di teras saat pulang kantor. Alhamdulillah, puas rasanya melihat senyumnya saat menerima cemilan yang kubawakan. Kentara betul bahwa ia bahagia saat itu.

Abang memang belum bisa jauh dariku. Abang masih sangat butuh kehadiranku. Tidak perlu melakukan apapun, yang penting ada, itu sudah cukup. Maafkan bunda karena pernah berfikir sebaliknya. Aku pernah berfikir bahwa abang sudah tidak mengapa tanpa kehadiranku. Suatu hari saat mengantar ibu ke gerbang untuk pulang ke rumahnya usai bekerja di rumahku menjaga anak-anak, abang tiba-tiba berucap, "Besok abang tinggal sama ibu ya, kan bunda kerja". Hatiku sakit saat itu. ada rasa cemburu pada ibu. Cemburu karena putra sulungku kupikir lebih nyaman bersama ibu dan sudah rela melepasku bekerja. Meskipun itu pertanda bagus karena aku bisa terbebas dari drama saat berangkat bekerja, tetapi tetap saja ada rasa sedih yang menyeruak. Namun, pernyataan abang juga memunculkan pemikiran baru di benakku, bahwa, anak-anak sudah nyaman bersama ibu. Oleh karena itu, aku rasa sudah saatnya aku mengiyakan tawaran dinas ke luar kota. Aku pikir anak-anak akan mengerti dan tidak akan kehilanganku. Namun, ternyata aku salah. Perjalanan dinas pertamaku dibanjiri kegundahan karena pertanyaan abang. "Bunda kok lama?", keluhnya yang terekam video ibu. Rupanya meski merelakan bundanya berangkat kerja di pagi hari, ia selalu menantikanku di sore hari. Abang terlalu terbiasa tidur bersamaku. tidak pernah semalampun ia tidur tanpaku. Ya, mereka masih menginginkanku. Mereka masih ingin selalu dekat denganku. Melalui cctv pun kusaksikan kerinduan itu. Meski fisiknya asik bermain dengan anak-anak ibu yang ikut menginap di rumah saat aku ke luar kota, namun, hatinya merindukanku. Terutama di hari kepulangan. Saat kukabarkan otw pulang, kusaksikan dari cctv, tak sedetikpun abang beranjak dari teras. Dia tidur disana menunggu bundanya ditemani belaian angin pagi yang sejuk cenderung dingin kala itu.

Sekarang abang mulai serba bunda. Mau apa-apa harus sama bunda. Bikin susu harus bunda. Kalau ketahuan ibu yang seduh bisa ngamuk. Mau ke kamar mandi untuk buang air pun harus ditemani bunda, tidak lagi berkenan ditemani orang lain. Bundanya bahkan dilarang sholat di kamar. "Sholatnya di luar aja", titahnya. Alasannya agar bisa menemaninya yang sedang menonton di ruang tengah. Bundanya mau tidur juga dilarang. "Jangan tidur bundaa", katanya. Wajar saja, waktu kebersamaan kami hanya di malam hari yang singkat itu. Jadi, bunda harus tahan kantuk dan lelah untuk menemani abang dan adek bermain. Malangnya, saat rasa lelah dan kantuk memuncak, fisik pun kalah untuk menahannya. Endingnya nyesel di dini hari saat terbangun, tetapi anak-anak sudah tertidur. Kuciumi mereka satu-satu. Kupeluk dan kusampaikan rasa sayang dan permintaan maafku di telinga mereka. Mereka masih tidur, tapi aku yakin mereka mendengarnya meski di alam bawah sadarnya.

Minimnya kebersamaan kami membuat abang dan adek terpaksa menjalani hari-harinya secara mandiri. Meski ada ibu, tetapi kehadirannya lebih kepada mengawasi. Aktivitas harian tetap mereka lakukan secara mandiri. Akhir-akhir ini abang mulai bosan dengan aktivitasnya. Ini terlihat dari pertanyaan-pertanyaan abang yang mulai kritis. Pertanyaan abang belakangan ini mengusikku, menambah peer bunda agar belajar lagi dan lagi. Akhir-akhir ini abang sering menanyakan jadwal aktivitas harian. "Abis sholat kita ngapain?", "Abis ngaji ngapain?", "Abis makan ngapain?", abis main puzzle ngapain?", "abis tidur ngapain?", dan seterusnya. Maafkan bunda nak, bunda yang salah karena tidak mengenalkan aktivitas yang bervariasi padamu. Terimakasih sudah mengingatkan bunda nak. Bunda akan berusaha mengajarkan aktivitas lain yang bermanfaat untukmu. Agar abang tidak kesepian saat bunda tinggal bekerja.

Meski ada banyak permainan, tetapi hari-hari abang dominan dihabiskan menonton youtube di tv. Awalnya aku dan suami sepakat untuk menjauhkan anak-anak dari tv. Makanya, sampai abang berusia tiga tahun, kami tidak ada keinginan untuk memiliki tv. Entah hal apa yang mendorong kami saat membeli tv, aku tidak begitu ingat. Namun, bisa jadi niat awalnya masih konsisten, yaitu sebagai wasilah abang untuk mengisi waktu dengan hal bermanfaat, yaitu mempelajari islam melalui video-video islami, seperti video hijaiyah, murattal, dan lain-lain di tv. Atau jika bosan, abang bisa menonton filem islami anak-anak yang penuh hikmah sekali-sekali. Nah disini kesalahan fatalnya. Sekali-sekali itu tidak disiplin kupatuhi, sehingga dari sekali-sekali berubah menjadi sering, dan sekarang menjadi selalu. Bahkan sekarang tidak lagi video islami. Sejak bisa mengutak-atik remot tv sendiri, sekarang abang dengan bebas berselancar menonton berbagai video yang disukainya di youtube. Meskipun dibatasi agar menghindari tontonan yang ada adegan memukul dan berkelahi yang kuistilahkan dengan tidak soleh, nyatanya kriteria video yang tidak mendidik di youtube sangat bervariasi. Alhasil, saat dilarang, abang mengamuk, karena merasa itu tidak sesuai dengan kesepakatan. Ya, maafkan bunda nak, karena kelalaian bunda membuatmu menjadi candu begini. 

Abang, jangan marah ya. Sempitnya kebersamaan kita saat ini ditambah rentetan pertanyaanmu tentang aktivitas harian membuat ayah dan bunda harus membuat aturan baru untukmu dan adek. Bunda tau kamu akan marah, tetapi bunda akan coba untuk berdamai dengan amarahmu nak. Maafkan bunda nak, karena upaya untuk menyelamatkanmu dari bahaya youtube yang lebih dahsyat akan membuatmu sering marah saat ini. Ini semua untukmu sayang, untuk kebaikanmu. Akan ada beberapa aturan yang diubah. Mungkin saatnya tidak tepat, karena sekarang bunda sudah jarang membersamaimu. Tapi, kita coba ya sayang. Kita coba untuk mengubah aktivitasmu. Kita coba untuk perlahan-lahan menjauhkanmu dari youtube. Kita coba untuk perlahan-lahan mengisi harimu dengan kegiatan yang lebih bermanfaat. Maafkan bunda jika ini terasa mendadak. Maafkan bunda karena mamaksamu untuk siap. Abang tidak sendiri nak. Bunda juga berjuang untuk mejauhi hp selama di rumah. Agar dirimu merasa adil dan lebih mudah bekerjasama. 

Abang sayang, tersenyumlah, bunda rindu senyummu. Jangan terlalu sering menangis karena bunda tidak lagi menuruti rengekanmu. Hapus air matamu nak. Meski tegar, tetapi hati bunda mana yang tidak sedih menyaksikan air mata putranya tumpah karenanya. Jangan menangis tampanku, bunda yakin kita bisa malaluinya.

Abang sholeh, ayah, bunda, dan adek sayang abang. Jangan marah ya anak bujang ganteng soleh kesayanganku..:)


Komentar

Postingan Populer