Unggulan

Belajar Diam

Selasa pagi di sudut kamar, sebuah laptop acer jadul sudah menunggu untuk menemani work from home hari ini. Selain menyiapkan amunisi untuk teman kerja berupa kopi hitam dan donat homemade yang alhamdulillah kali ini tidak bantet, saya juga mulai mengutak-atik hp untuk mencari musik sebagai backsound yang niatnya buat bikin tambah semangat kerja. Berhubung saya sudah lama tidak menyimpan musik di HP, jadilah saya buka youtube buat cari musiknya. Eh, dilalah malah lihat kajian ustadz favorit yang kalo ngasih tausiyah tuh ngademin banget. Yup, beliau adalah ustadz Oemar Mita. teman-teman yang suka dengar kajian beliau pasti setuju. Kali ini beliau membahas 'diam'. Judulnya simpel tapi setelah didengar ternyata ngena banget dan bikin ngangguk-ngangguk sendiri. Ya Allah, ini tuh kayak teguran buat saya. 

Saya tuh orangnya pendiam. Saya juga sulit menemukan teman yang sreg. Tapi kan, saya pernah mikir harus berubah. Mungkin saya harus ngomong, ngomong apa aja deh, biar saya jadi mudah akrab sama orang. Sejak bertekad seperti itu, kadang kalau saya ngomong seringkali tidak terkontrol. Tanpa sadar saya membicarakan hal yang tidak perlu, bahkan aib sendiri. Padahal Allah sudah menutup aib saya, malah saya bongkar sendiri. Jadilah selalu timbul penyesalan setiap ngobrol sama orang. Khawatir ada salah ucap. Jika ada, khawatir teman bicara akan membicarakannya dengan orang lain. 

Sepertinya tekad saya salah. Sepertinya menjadi pendiam itu tidak selalu buruk. Justru Allah sedang melindungi saya lewat lemahnya kemampuan saya berkomunikasi. Dengan diam, saya merasa lebih aman. Dengan diam, saya merasa lebih berwibawa. Dengan diam, saya merasa lebih dihormati. Jika ada kesalahan, hanya saya dan Allah yang tahu. Punya rahasia itu baik. Orang tidak perlu tahu detail tentang kita. Orang cukup tahu apa yang perlu mereka ketahui. Sisanya cukup menjadi rahasia kita dengan Allah.

Masih ingat saat-saat nun jauh di masa muda, saat saya masih jauh pendiam dari saat ini. Saya bicara seperlunya. Saya bicara saat ditanya atau diajak bicara saja. Saya jarang sekali tertawa terbahak-bahak. Apalagi di depan laki-laki. Allah benar-benar menjaga aurat saya. Allah menjaga akhlak dan pergaulan saya lewat diamnya saya. Saya selalu berada di tengah teman perempuan. Saya tidak punya teman akrab laki-laki. Saya pun jarang berbicara dengan teman laki-laki, kecuali ada kepentingan seperti tugas kelompok

Akhir-akhir ini saya berusaha mengerem lagi mulut saya dari berbicara terlalu banyak. Saya kembali belajar memilah hal penting dan positif untuk dibicarakan. Namanya belajar, seringkali berhasil, seringkali tidak. Saat berhasil, duh senangnya. Saat gagal, beuh, nyesek karena harus mengulang mengkonsistenkan diri lagi dari awal. Kegagalan itu  biasanya muncul saat berkumpul dengan teman yang sefrekuensi. Pembicaraan yang awalnya masih terkontrol perlahan mulai melebar menjadi membicarakan orang lain, kemudian membandingkan dengan diri sendiri. Kalau aku begini, aku tidak begini, dan seterusnya. Tanpa sadar ada aib yang terumbar disana, entah aib sendiri atau orang lain, entah benar (ghibah) entah salah (fitnah). Atau bisa jadi ada pujian terhadap diri sendiri tanpa disadari (sombong dan riya) ataupun pujian terhadap lawan bicara yang bisa memicu sombong dan riya di hatinya. Bahkan terkadang ucapan yang keluar mengandung makna yang merendahkan lawan bicara atau orang lain. 

Saya juga menerapkan diam pada suami. Suami itu orang lain di luar diri kita. Selama ini saya salah. Saya pikir, bisa mengungkapkan semua isi hati kepada suami. Saya pikir tidak mengapa suami mengetahui apa yang kita rasakan atau apa yang kita inginkan. Setelah dijalani sepertinya tidak begitu. Terhadap suami pun ada hal-hal yang perlu dirahasiakan. Memang, saat curhat suami akan bilang, "cerita aja". Tapi hati-hati, jangan terpancing. Sebagai manusia baperan, perempuan harus sadar kelemahannya. Tanggapan suami setelah mendengar curhatan istrinya bisa beragam. Ada yang khidmat mendengarkan tanpa memberikan solusi. Ada yang menggebu-gebu memberikan solusi. Yang kedua ini cukup berbahaya, apalagi jika sang istri punya hati yang sangat sensitif. Alih-alih merasa tenang, solusi dari suami bisa menjadi malapetaka baru yang butuh penyelesaian yang lebih rumit. Jadi sedang-sedang sajalah pada suami sekalipun. 

Dari penjelasan ustad, saya menangkap salah satu poin penting dari belajar diam, yaitu belajar untuk berfikir positif terhadap apapun. Jika ada masalah dalam hidup, tidak perlu mengeluh kepada makhluk, adukan saja padaNya, yang memilikimu, karena Dia lebih mengenalmu. Berusahalah berfikir positif atas segala hal. Sekalipun menghadapi masa sulit, lihatlah sisi positifnya, jangan terlalu fokus pada sisi negatifnya. Fikiran negatif itu seperti cangkang, yang akan membutakanmu dari berbagai hal positif di sekelilingmu. Fokus berkeluh kesah pada masalah hanya akan membuat diri kehilangan hal-hal positif berikutnya dalam hidup. Dampaknya, ibarat luka, masalah bukannya mengecil, malah akan ternganga semakin lebar.

Berpikir positif juga berlaku terhadap suami. Keluhan istri bisa menjadi sumber lain dari masalah-masalah suami yang sudah banyak. Satu dua kali mungkin jawabannya akan memuaskan, tetapi kali-kali selanjutnya bisa jadi ia pun mulai lelah dan menuntut perubahan signifikan pada istrinya. Bagaimana tidak, setiap kali mengeluh suami sudah memberikan solusi, berulang kali. Jangankan suami, manusia lain juga akan lelah jika sudah berkali-kali. Kalau sudah begini, jadi bingungkan mau menyalahkan siapa. Istri masih butuh curhat, didengar dan disemangati saja sebenarnya sudah cukup, tapi suami juga manusia yang punya batas, ia sudah lelah, terlebih karena minimnya kemampuan multitaskingnya, mungkin begitu pula dengan kemampuan multithinkingnya. Karena itu, diam-lah solusinya.  

Diam pun ada godaannya, tidak semudah yang dibayangkan. Diam mungkin tidak butuh usaha atau skill apapun. Yaa, cukup diam saja, gampang kan. No, nggak gitu prakteknya. Diamnya sih mudah, tetapi godaannya dahsyat. Misalnya saat baru menghadapi yang menurut diri wow, ada rasa ingin berbagi cerita. Kayaknya tuh sayang banget kalau disimpan sendiri. Padahal kalau diceritakan ke orang lain, mungkin tanggapan mereka hanya 'ow', tanpa interogasi lebih lanjut, seperti 'trus, gimana?', 'wah, keren ya', atau yang lebih parah kalau ceritanya via whatsapp, terus lawan bicara hanya read tanpa membalas komen. Godaan yang kedua, jika ada kerumunan orang lagi bahas sesuatu yang misalnya viral, terus kita tahu info terbaru, pasti mulut udah gatal pengen ikut cerita. Godaan berikutnya kalau ditanya orang, "kamu kenapa? cerita aja kalo lagi ada masalah". Saat ini, seolah tersihir, kita akan cerita ngalir dari a sampai z masalah kita. Tidak peduli disana ada aib diri sendiri atau orang lain yang ikut terseret, pokoknya ngalir aja. Ujung-ujungnya, alih-alih memberikan solusi, biasanya hanya akan ditimpali "sabar ya". Nah loh...

Memang benar kata pepatah, 'diam adalah emas'. Itu bener banget. Ucapan kita akan menjadi penjara untuk diri kita. Ketika ucapan kita tidak sesuai dengan sikap dan perbuatan kita, maka bersiaplah menerima pandangan aneh dari sekitar. Karena inilah, tidak sedikit orang bertindak bukan karena kebutuhannya, tetapi demi penilaian orang, karena sudah kadung cerita ke orang-orang, sehingga malu jika tidak melakukannya. Jika diresapi, mungkin ini juga salah satu hikmah kalimat 'insyaAllah'. Manusia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Seperti Rasulullah yang tidak tahu besok wahyu akan turun atau tidak, sehingga turunlah teguran baginya untuk berucap insyaAllah saat berjanji. Maka amanlah orang yang bisa mengontrol ucapannya dari penjara lidahnya sendiri.


 



Komentar

Postingan Populer